Laman

Rabu, 09 Desember 2009

Penggerebekan Teroris di Rumah Kami



Entahlah, apa yang dimaui oleh teroris berbulu hitam dan berekor panjang ini. Beberapa dari mereka berhasil menyusup ke dalam kediaman kami yang terletak di tengah pegunungan Alpen ini.

Pintu penjagaan rumah kami sebetulnya sangat ketat. Sangat tidak mudah untuk masuk ke dalam kediaman kami. Kalaupun ada yang berniat jahat dan berniat masuk ke dalam dengan berhasil merusak gembok seberat 2,5 kuintal dan rantai kapal Titanic yang disambung dengan tambang layar kapal Flying Dutchman, orang itu belum bisa masuk ke dalam ruangan rumah kami. Karena begitu tiba di pintu kayu jati kualitas tinggi, jika ia ingin masuk, maka akan ada verifikasi password yang sangat rumit. Selain itu jika berhasil memecahkan password, maka akan ada tes yang mengharuskan ia menyelesaikan soal-soal Fisika dan Kimia yang dipakai untuk seleksi masuk Nanyang University. Jika ditinjau dari fakta-fakta tersebut, berpikirlah dua kali jika ingin menyusup ke kediaman kami.

Namun keluarga kami sedikit lupa dan khilaf akan salah satu gerbang masuk yang tidak dipasang pengamanan serupa dengan pintu depan. Gerbang itu adalah, pintu dapur! Dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari pintu itu terbuka lebar layaknya pintu maaf di hari lebaran. Menurut penyelidikan agen polisi Prof. Dr. Lukman Nurhakim, M.Hum, pintu itulah yang berhasil dilewati oleh teroris berbulu hitam dan berekor panjang itu. Teroris itu tidak bergerak sendirian, namun mereka terdiri dari beberapa individu. Setelah melewati pintu dapur, mereka berpencar. Ada yang bersembunyi di tempat sampah dapur, kolong kulkas, bahkan ada yang berhasil memanjat dan bersembunyi di lemari kitchen set. Dan yang paling parah, ada satu dari mereka yang bersembunyi, di kamar saya! Padahal, jarak dari dapur ke kamar saya cukup jauh. Dengan berjalan kaki dari dapur, setelah dua purnama baru akan sampai ke kamar saya. Itupun kalau arus mudik sudah semakin sepi.

Sungguh kurang ajar memang teroris itu. Saya baru tahu kalau dia mendiami kamar saya selama beberapa abad, ketika saya sedang berkegiatan dengan komputer-lesehan saya di dalam kamar. Di sebelah kiri komputer-lesehan terdapat lemari buku, dan di kirinya lagi, terdapat rak pernak-pernik setinggi empat tingkat. Ketika saya baru berkegiatan dengan komputer-lesehan memang sudah terdengar suara grasak-grusuk dari balik lemari buku. Awalnya saya tidak begitu curiga. Namun setelah tidak lama, ada sosok berbulu hitam dan berekor panjang yang memanjat dan berhasil mencapai puncak rak pernak-pernik. Spontan (uhuyy!!) saya kaget. Walaupun ukuran tubuhnya satu per sepuluh tubuh saya, tetap saja saya geli dengan wujudnya itu. Saya langsung berdiri dan hendak kabur. Namun teroris itu pun tak kalah kaget dan kembali turun untuk kembali ke balik rak buku. Sudahlah, walaupun ia bertubuh kecil, tapi saya selalu gentar dengan makhluk satu itu. Biar Agen Kepala saja yang menghabisinya nanti kalau ada kesempatan.


Benar saja, saya langsung lapor ke Agen Kepala (ayah saya) pada suatu kesempatan. Katanya, ia akan menggerebek kamar saya pada akhir pekan. Selama menunggu, saya selalu waspada jika berada dalam kamar. Takut-takut kalau teroris itu mengintip saat saya sedang ganti baju.

Besok adalah akhir pekan. Ya, tandanya besok akan ada penggerebekan kamar saya untuk menuntaskan teroris. Namun tak disangka dan tak diduga, ketika keluarga kami sedang asyik bersantai pada malam hari, saya melihat si teroris berbulu hitam dan berekor panjang itu keluar dari kamar saya. Ia berhenti di depan pintu kamar tatkala melihat saya. Seperti refleks saya berteriak, “itu dia terorisnya!” Tak ayal, teroris itu kembali masuk ke dalam kamar.

Kemudian Agen Kepala memutuskan untuk melakukan penggerebekan pada malam ini juga. (Deg!)

Agen Kepala langsung mempersenjatai diri dengan sapu ijuk dan memanfaatkan gagangnya. Agen Kepala memang rendah hati, karena hanya perlu senjata berupa sapu ijuk. Saya pun disuruh mempersenjatai diri dengan sebuah pedang panjang samurai peninggalan pendekar legendaris Musashi yang akhirnya dibeli oleh Si Pitung dan kemudian dilelang dan dimenangkan Jaka Gledek, hampir saja pedang itu dicuri Sinto Gendeng atas perintah Wiro Dablek. Selain itu, Agen Bawang (adik saya) pun disuruh mempersenjatai diri dengan AK47 (sebenarnya hanya sebuah paralon kurus bertuliskan ‘AK47’ yang ditulis oleh entah siapa).

Penggerebekan pun dimulai. Kami bertiga memasuki kamar saya yang sempit dan panas karena ventilasinya malas dibuka. Kamar ini hanya berupa ruangan yang berisi barang-barang kebutuhan saya minus ranjang alias tempat tidur. Kata ibu saya, “lu mah kagak perlu tempat tidur. Sekalinye dikasi tempat tidur, lu kagak perneh tidurin, alesannye ‘erep-erep’-lah.”

“Di mana dia bersembunyi?” Tanya Agen Kepala kepada saya.

“Terakhir saya lihat, dia bersembunyi di balik rak buku.”

Agen Kepala langsung memberantakkan posisi rak buku, rak pernak-pernik, meja komputer lesehan dan mulai menyodok-nyodokkan gagang sapu ke sekitar situ.

“Kok gak ada?”

“Iya, ya. Padahal dia bersarang di sini.”

Kemudian Agen Kepala mulai memberantakkan seluruh perabot yang ada di kamar saya, berharap menemukan teroris itu. Saya pun turut membantu memberantakkan apa-apa yang ada di sana. Kemudian sambil Agen Kepala menarik dan menyodok gagang sapu ke segala penjuru, saya berinisiatif untuk mengangkat sebuah bungkusan plastik kresek besar berisikan busa sofa yang teronggok di sudut ruangan. Benar saja, di bawahnya sesosok makhluk kecil berbulu hitam dan berekor panjang berada di situ dan langsung lari ketika ketahuan tempat persembunyiannya. Ia berlari keluar kamar.

Singkat cerita terjadilah pengejaran, pemukulan dan peneriakan kami bertiga terhadap teroris itu. Saya lebih banyak menjauh karena saya belum bisa menghilangkan rasa geli terhadap makhluk itu. Namun saya tetap menggenggam pedang samurai yang sepertinya akan lebih baik disimpan di museum daripada saya pegang dan tidak diapa-apakan.

Pengejaran terjadi di ruang tamu dan beralih ke ruang makan. Agen Kepala mencoba terus memukul teroris yang terus menghindar dengan gagang sapu, tapi selalu meleset sampai akhirnya gagang sapu itu patah jadi dua. Dengan semangat yang menggelora Agen Kepala menyabet paralon yang digenggam Agen Bawang yang sepertinya sama dengan saya, tidak bisa berbuat banyak, dan kembali mencoba memukulkannya pada teroris berbulu hitam itu.

Kemudian teroris itu berlari dan menuju dapur. Agen Kepala terus mengejarnya dan kejadiannya begitu cepat, tidak terlihat dan tidak terdengar, tiba-tiba Agen Kepala berhenti mengejar dan memukul. Beliau memandang ke arah saya dan berkata, “sudah selesai.”

Awalnya saya tidak paham apa maksud Agen Kepala. Namun saya melihat ke sudut dekat pintu dapur dan saya melihat teroris kecil berbulu hitam dan berekor panjang itu sudah terbaring lemas. Saya langsung mengerti. Sepertinya Agen Kepala dengan sangat tepat memukulkan paralonnya ke tubuh empuk teroris itu sehingga tidak terdengar sama sekali suara hasil pukulannya. Akhirnya, riwayat teroris itu tamat.

Inilah pelajaran bagi kita semua untuk tetap menjaga kebersihan dan keamanan rumah kita. Kita harus senantiasa merawat istana yang di dalamnya kita tumbuh dan besar. Walaupun rumah itu bukan milik kita, karena bisa jadi milik pemerintah sehingga tidak boleh diperdagangkan, kita harus tetap merawat dan menjaganya. Karena walaupun kita tidak memiliki, tetapi kita bisa menikmati.

Akhir kata, Wassalam!





Bekasi, 8 Desember 2009
(sumber gambar:
1. http://219.83.122.194/web/index.php?option=com_content&view=article&id=3271:fkpi-sayangkan-tindakan-polri-terhadap-teroris&catid=47:hukum-dan-kriminal&Itemid=114
2. http://www.uconline.co.uk/html/cool_pictures.html)

Tidak ada komentar: